berikut:
“Manajemen kinerja
merupakan sarana untuk mendapatkan hasil yang lebih dari organisasi, tim, dan
individu dengan cara memahami dan mengelola kinerja dalam suatu kerangka
tujuan, standar, dan persyaratan-persyaratan atribut/kompetensi terencana yang
telah disepakati. Manajemen kinerja merupakan proses penciptaan pemahaman
bersama tentang apa yang harus dicapai, dan penciptaan suatu pendekatan
terhadap pengelolaan dan pengembangan orang dengan suatu cara yang meningkatkan
probabilitas bahwa pendekatan tersebut dapat dicapai dalam waktu yang singkat
dan berjangka waktu lebih lama.”
Dalam manajemen
kinerja sangat diperlukan pengelolaan atas variabel-variabel yang mempengaruhi
kinerja untuk menjaga stabilitas kinerja organisasi. Sedangkan kinerja
organisasi tidak lepas dari kinerja individual pegawainya. Hal ini selaras dengan
pendapat Stephen P Robbins dalam Mahmudi (2007, 20) yang menyebutkan faktor
personal/individual sebagai urutan pertama dari lima faktor lain yang mempengaruhi
kinerja.
Kinerja mengacu
pada sesuatu yang terkait dengan kegiatan melakukan pekerjaan, dalam hal ini
meliputi hasil yang dicapai kerja tersebut (Otley, 1999). Kinerja merupakan
hasil dari kerja itu sendiri (outcomes of work), karena hasil kerja memberikan
keterkaitan yang kuat terhadap tujuan-tujuan strategis organisasi, kepuasan
pelanggan, dan kontribusi ekonomi (Rogers, 1994).
Pengukuran kinerja
merupakan suatu proses penilaian kemajuan pekerjaan terhadap pencapaian tujuan
dan sasaran yang telah ditentukan, termasuk informasi atas efisiensi penggunaan
sumber daya dalam menghasilkan barang dan jasa, kualitas barang dan jasa, perbandingan
hasil kegiatan dengan target, dan efektivitas tindakan dalam mencapai tujuan
(Robertson, 2002). Dalam hal ini penting untuk ditentukan tujuan pengukuran
kinerja, apakah untuk menilai hasil kinerja (performance outcome) ataukah
menilai perilaku (personality), dan untuk mementukan alat ukur kinerja
yang tepat (John Isaac Mwita, 2000).
Menurut Mahmudi
(2005), terdapat tiga pendekatan manajemen kinerja, yaitu manajemen kinerja
berbasis pelaku (pegawai), manajemen kinerja berbasis perilaku (proses), dan
manajemen kinerja berbasis hasil (outcome/result).
1)
Manajemen
Kinerja Berbasis Pelaku (Pegawai)
Manajemen kinerja berbasis pelaku
(pegawai) merupakan manajemen kinerja model klasik yang mendasarkan penilaian
kinerja pada kualifikasi dan kinerja individual, seperti penampilan, disiplin
dan ketaatan terhadap peraturan, kemauan dan kemampuan belajar, hubungan dengan
pelanggan, bawahan, rekan kerja, dan atasan; motivasi diri; kecermatan dan
ketelitian; produktivitas/kecepatan dalam bekerja; kualitas kerja; pengetahuan
dan ketrampilan kerja; kemampuan beradaptasi; kemampuan bekerja sama dan kerja
tim; kemampuan mengatasi masalah; kemampuan berkomunikasi lisan dan tulisan;
kemampuan memimpin dan mengorganisasi; dan loyalitas.
Organisasi yang menggunakan pendekatan
manajemen kinerja berbasis pelaku pada umumnya menggunakan formulir penilaian
kinerja pegawai untuk menilai atribut-atribut kinerja personal tersebut. Tiap
atribut kinerja personal diberi bobottertentu untuk menentukan total nilai
kinerjanya.
2)
Manajemen
Kinerja Berbasis Perilaku
Manajemen kinerja berbasis perilaku tidak
semata-mata berfokus pada factor pegawai, namun berkonsentrasi pada perilaku
atau proses yang dilakukan seseorang dalam melakukan kerja. Untuk menilai
kinerja berdasarkan perilaku atau proses, organisasi menentukan terlebih dahulu
faktor kinerja sebagai dasar untuk menilai.
Faktor-faktor
kinerja tersebut misalnya:
1)
Manajemen
operasional, meliputi perencanaan dan pengendalian keuangan, manajemen aset,
dan pengendalian internal.
2)
Manajemen
staf dan pengembangan SDM.
3)
Kualitas
barang atau jasa yang dihasilkan, misalnya ketersediaan/keberadaan barang,
jasa, atau orang pada saat dibutuhkan, kebersihan dan kerapihan produk yang
dihasilkan, serta kemudahan dalam penggunaan atau pengaksesan.
4)
Kualitas
pelayanan, seperti kecepatan pelayanan, kebersihan dan kerapihan staf dan
fasilitas, keramahan dan kesabaran staf dalam melayani pelanggan, serta keamanan
dan kenyamanan.
3)
Manajemen
Kinerja Berbasis Hasil
Pendekatan manajemen kinerja berbasis
pelaku dan perilaku hanya berfokus pada pengukuran kinerja input dan output.
Manajemen kinerja berbasis hasil mendasarkan penilaian kinerja pada pengukuran
hasil, dampak, dan manfaat yang lebih luas. Kinerja diukur dengan suatu
indikator kinerja kinerja. Indikator kinerja yang baik menurut Mahmudi (2005)
memiliki karakteristik sebagai berikut:
a.
Indikator
tersebut harus konsisten antar waktu dan juga konsisten antarunit.
b.
Indikator
tersebut dapat diperbandingkan, yaitu dapat diperbandingkan dengan periode-periode
sebelumnya, dengan unit kerja lain atau organisasi sejenis, dengan perkiraan
kinerja di masa yang akan datang, dengan kinerja yang telah dicapai, serta
dengan standar kerja minimal.
c.
Indikator
kinerja harus jelas dan sederhana agar mudah dipahami.
d.
Indikator
kinerja harus dapat dikontrol sebagai alat pengendalian manajemen.
e.
Indikator
kinerja harus dapat mengikuti perubahan lingkungan yang mungkin terjadi seperti
perubahan struktur organisasi dan gaya manajemen.
f.
Indikator
kinerja harus komprehensif dan dapat merefleksikan semua aspek yang diukur,
termasuk aspek perilaku.
g.
Indikator
kinerja harus berfokus pada sesuatu yang diukur. Untuk menghasilkan indikator
kinerja yang fokus perlu dibuat Indikator Kinerja Kunci (Key Performance
Indikator), yaitu indikator level tinggi yang memberikan gambaran komprehensif
mengenai kinerja suatu program, aktivitas, atau organisasi.
h.
Indikator
kinerja harus relevan dengan sesuatu yang diukur, sesuai dengan kebutuhan dan
kondisi.
i.
Indikator
kinerja harus realistis sehingga memungkinkan untuk dicapai.
Mahmudi (2005)
mengkategorikan indikator kinerja menjadi dua jenis, yaitu indikator kinerja
makro dan indikator kinerja mikro. Indikator kinerja makro adalam indikator
kinerja level tinggi yang bersifat strategik, sedangkan indikator kinerja mikro
merupakan indikator kinerja level unit kerja yang bersifat operasional. Pihak eksternal
lebih banyak berkepentingan dengan indikator kinerja makro untuk menilai kinerja
organisasi. Sementara itu indikator kinerja mikro lebih banyak digunakan oleh internal
manajemen untuk pengendalian dan monitoring kinerja.
Anies Basalamah
(2004, 110) mengutip dari Schemerhorn, Hunt, dan Osborn mendefinisikan kepuasan
kerja sebagai tingkatan perasaan suka atau tidak suka seseorang pada
pekerjaannya. Kepuasan kerja juga berkaitan dengan tanggapan emosional terhadap
pekerjaan seseorang, disamping juga berkaitan dengan kondisi fisik dan sosial
lingkungan kerjanya. Stephen P Robins (1998) mengemukakan bahwa: “kepuasan
kerja terjadi apabila kebutuhan-kebutuhan individu sudah terpenuhi dan terkait
dengan derajat kesukaan dan ketidaksukaan dikaitkan dengan pegawai atau
kepuasan merupakan sikap umum yang dimiliki oleh pegawai yang erat kaitannya
dengan imbalan-imbalan yang mereka yakini akan mereka terima setelah melakukan
sebuah pengorbanan.” Faktor penting yang mampu mendatangkan kepuasan kerja
menurut Stephen P Robbins (2001, 149) meliputi empat hal:
a. Pekerjaan yang
secara mental menantang.
Karyawan cenderung
menyukai pekerjaan-pekerjaan yang memberi mereka kesempatan untuk menggunakan
keterampilan, kemampuan, penawaran tugas, kebebasan, dan umpan balik mengenai
betapa baik mereka mengerjakan. Pekerjaan yang kurang menantang dapat
menimbulkan kebosanan, begitu pula sebaliknya jika terlalu menantang akan
menimbulkan frustasi dan perasaan gagal. Pada kondisi tantangan yang sedang,
kebanyakan karyawan akan mengalami kesenangan dan kepuasan. Faktor ini dapat
dikatakan sebagai faktor kepuasan fisik.
b. Penghargaan
yang layak.
Para karyawan
menginginkan sistem penggajian dan kebijakan promosi yang mereka rasakan wajar,
tidak membingungkan, dan sejalan dengan harapan mereka. Bila penggajian
dianggap adil, sesuai dengan tuntutan pekerjaan, tingkat ketrampilan individu,
dan standar penggajian masyarakat umum, kepuasan akan tercapai. Faktor ini
dapat dikatakan sebagai faktor kepuasan finansial.
c. Kondisi kerja
yang mendukung.
Para karyawan
menaruh perhatian yang besar terhadap kondisi lingkungan kerja mereka, baik
dari segi kenyamanan pribadi maupun kemudahan untuk melakukan pekerjaan dengan
baik. Mereka lebih menyukai lingkungan fisik yang aman, nyaman, bersih, dan
memiliki tingkat gangguan minimum. Faktor ini dapat dikatakan sebagai faktor
kepuasan psikologi.
d. Rekan kerja
yang mendukung.
Bagi sebagian
besar karyawan, bekerja juga dapat memenuhi kebutuhan untuk berinteraksi
sosial. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila bekerja dan memiliki
rekan-rekan kerja yang ramah dan mendukung dapat meningkatkan kepuasan kerja
karyawan tersebut. Faktor ini dapat dikatakan sebagai faktor kepuasan sosial.
Tingkat kepuasan
kerja bergantung pada perbedaan antara apa yang diperoleh dari pekerjaannya dan
apa yang diharapkan diperoleh (Porter LW, 1973). Kepuasan meliputi kepuasan
atas tugas, reward berupa penghasilan (pay), promosi (promotions),
menjadi dikenal (recognition), manfaat (benefits), and kondisi
pekerjaan (working conditions) (Locke, 1976).
Terdapat dua macam
kepuasan, intrinsik dan ekstrinsik (Bhuian, 1996). Kepuasan intrinsik untuk
kepuasan kerja merefleksikan pengalaman pegawai merasakan pencapaian kinerja
dan aktualisasi diri dari pekerjaannya. Kepuasan ekstrinsik khususnya dalam
kepuasan kerja yaitu kepuasan karena adanya reward yang didapat seperti
kompensasi dan keselamatan kerja dengan melakukan pekerjaannya. Schemerhorn
(1999) secara umum tanpa memperhatikan apakah seseorang itu manajer atau bukan,
menilai lima aspek dalam kepuasan kerja sebagai berikut:
a.
Sifat
pekerjaan itu sendiri
Sifat pekerjaan
yang dimaksud yaitu aspek tanggung jawab yang harus dipikul atau tantangan
dalam pekerjaan tersebut, penyebab timbulnya minat atas pekerjaan, serta
pertumbuhan atau perkembangan bagi pegawai.
b.
Penyelia
(Supervisor)
Penyelia yang baik
berarti mau menghargai pekerjaan bawahannya. Bagi bawahan, penyelia sering
dianggap sebagai figur ayah/ibu dan sekaligus atasannya.
c.
Hubungan
dengan sesama pekerja
Hubungan baik yang
terjaga dalam lingkungan kerja yaitu keharmonisan social dan saling menghargai.
d.
Kesempatan
untuk dipromosikan atau meningkatkan karir
e.
Gaji/Upah
Merupakan faktor
pemenuhan kebutuhan hidup pegawai yang dianggap layak atau tidak.
Metode penilaian
kepuasan kerja sebagaimana dikutip Anies Basalamah (2004,114) dari Greenberg
dan Baron yaitu:
a.
Menggunakan
kuisioner seperti yang dikembangkan dalam Job Description Index (JDI),
Minnestota Questionnaire (MSQ) atau dalam Pay Satisfaction Quistionnairen
(PSQ). Metode ini pada dasarnya mengukur kepuasan kerja dengan cara pegawai
yang bersangkutan melaporkan mengenai keadaan diri mereka.
b.
Menggunakan
prosedur kejadian kritis dimana pegawai diminta untuk menjelaskan mnengenai
kejadian-kejadian penting apa dalam pekerjaan mereka yang dinilai memuaskan
atau tidak memuaskan. Dari jawaban-jawaban itu kemudian diteliti secara seksama
untuk mengetahui tema dan reaksi ynag mendasarinya.
c.
Dengan
melakukan wawancara atau pertemuan tatap muka lainnya yang memberi kebebasan
bagi setiap orang untuk mengemukakan mengenai kepuasan.
0 Comments:
Post a Comment