Dalam konteks manajemen
pemerintahan dimana terdapat tingkatan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dikenal dua azas
penyelenggaraan pemerintahan yaitu sentralisasi
dan desentralisasi. Sentralisasi merupakan sistem pemerintahan dimana mekanisme pengambilan keputusan yang berkaitan
dengan daerah dilakukan secara terpusat
di pemerintah pusat. Oleh karena segala keputusan diambil oleh pemerintah pusat, maka pembangunan di daerah menjadi
tidak optimal. Hal ini dikarenakan lamanya
waktu yang diperlukan untuk menghasilkan suatu kebijakan terkait pembangunan daerah. Selain itu pemerintah
pusat belum tentu mengetahui dengan pasti
aspirasi, kebutuhan, dan prioritas daerah. Hal inilah yang menimbulkan dorongan kuat untuk menerapkan sistem desentralisasi. Banyak
definisi yang diungkapkan oleh para ahli mengenai desentralisasi. Berikut ini adalah beberapa definisi mengenai
desentralisasi sebagaimana dikutip oleh Elizabeth
L. Y. (2004):
- Decentralisation is usually
referred to as the transfer of powers from central government to lower levels
in a political-administrative and territorial hierarchy (Crook and Manor 1998,
Agrawal and Ribot 1999). This official power transfer can take two main forms.
Administrative decentralisation, also known as deconcentration, refers to a
transfer to lower-level central government authorities, or to other local
authorities who are upwardly accountable to the central government (Ribot
2002). In contrast, political, or democratic, decentralisation refers to the transfer
of authority to representative and downwardly accountable actors, such as
elected local governments” (Larson). - The term decentralisation is used to
cover a broad range of transfers of the "locus of decision making"
from central governments to regional, municipal or localgovernments” (Sayer et
al.). - Decentralization reform refers to “transforming the local institutional
infrastructure for natural resource management on which local forest management
is based” (Ribot).
Sementara itu definisi desentralisasi
menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 adalah penyerahan
wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan
dalam sistem Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Dari beberapa definisi mengenai desentralisasi fiskal dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa desentralisasi
fiskal merupakan transfer wewenang dan
tanggung jawab dari tingkatan pemerintah yang lebih tinggi (pemerintah pusat) kepada tingkat pemerintah yang lebih rendah
(pemerintah daerah) untuk mengurus rumah
tangganya sendiri.
Machfud Sidik (2002) menyatakan
bahwa: “Secara umum desentralisasi mencakup
aspek-aspek politik (political decentralization); administratif (administrative decentralization); fiskal
(fiscal decentralization); dan ekonomi (economic
or market decentralization).” Dari keempat aspek desentralisasi tersebut, desentralisasi fiskal merupakan komponen utama
dari desentralisasi. Pemerintah daerah dalam menjalankan fungsi pelayanan
publik harus diberikan keleluasaan dalam
menentukan kebijakan fiskal daerahnya.
Definisi desentralisasi fiskal
menurut James Edwin Kee adalah sebagai transfer kewenangan dari pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah terhadap fungsi-fungsi khusus dengan disertai kewenangan
administratif dan pendapatan fiskal untuk melaksanakan fungsi tersebut. A. James Heinz
sebagaimana dikutip oleh Iman Widhiyanto
(2008) mendefinisikan proses desentralisasi fiskal sebagai suatu proses dimana keputusan mengenai lingkup kegiatan
dibuat pada tingkat pemerintah federal sedangkan
keputusan mengenai desain aktivitas tersebut dibuat di tingkat pemerintah yang lebih rendah. Selanjutnya menurut Kenneth Davey (2003)
desentralisasi fiskal mencakup dua isu
yang saling berkaitan. Isu pertama adalah pembagian tanggung jawab pengeluaran dan sumber daya pendapatan
antar tingkatan pemerintah (nasional, regional,
lokal). Isu yang kedua adalah besarnya keleluasan yang diberikan kepada pemerintah regional atau lokal untuk
menentukan pengeluaran dan penerimaan mereka.
Definisi-definisi mengenai
desentralisasi fiskal yang telah dikemukakan sebelumnya juga telah sesuai dengan
desentralisasi fiskal yang selama ini dilaksanakan
di Indonesia. Brahmantio dan Tri Wibowo (2002) menyatakan bahwa secara harfiah istilah desentralisasi fiskal
memberikan pengertian adanya pemisahan yang
semakin tegas dan jelas dalam urusan keuangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Pemisahan dimaksud bisa
tercermin pada kedua sisi anggaran yaitu
penerimaan dan pengeluaran. Di sisi penerimaan, daerah akan memiliki kewenangan yang lebih besar dalam Tax Policy.
Sementara itu di sisi pengeluaran, daerah akan mendapat kewenangan penuh dalam
penggunaan dana perimbangan (dari bagi
hasil berupa PBB, BPHTB SDA, dan dana alokasi umum/DAU).
Penggunaan azas desentralisasi
ataupun sentralisasi hanyalah merupakan pilihan. Tidak ada yang pernah mengklaim desentralisasi
merupakan azas penyelenggaraan pemerintahan
yang terbaik ataupun sebaliknya. Pilihan untuk menggunakan salah satu azas tersebut hanya didasarkan pada
pertimbangan manakah yang lebih bermanfaat. Hal ini juga berlaku pada pemilihan penggunaan
azas desentralisasi fiskal. James Edwin
Kee dalam tulisannya mengemukakan beberapa alasan mengapa negara-negara mulai tertarik untuk menerapkan
desentralisasi.
- Central governments increasingly are finding that it is impossible for them to meet all of the competing needs of their various constituencies, and are attempting to build local capacity by delegating responsibilities downward to their regional governments.
- Central governments are looking to local and regional governments to assist them on national economic development strategies.
- Regional and local political leaders are demanding more autonomy and want the taxation powers that go along with their expenditure responsibility.
Sementara itu Candra Fajri Ananda
(2002) menyatakan beberapa alasan penyelenggaraan
desentralisasi fiskal sebagai berikut:
Beberapa alasan yang mendukung
desentralisasi fiskal, antara lain : (a) untuk mengalokasikan barang-barang dan
jasa publik yang bermanfaat dan eksternalitasnya berskala regional dan lokal,
(b) pemerintah daerah dapat lebih cepat menginterpretasikan kebutuhan rakyat,
dan (c) memungkinkan kebebasan individu dan tanggung jawab politik yang lebih
besar. Selanjutnya mengenai pra-syarat pelaksanaan
desentralisasi fiskal, Machfud Sidik (2002)
menyatakan bahwa:
Pelaksanaan desentralisasi fiskal
akan berjalan dengan baik kalau didukung faktor-faktor berikut: - Pemerintah Pusat yang mampu melakukan
pengawasan dan enforcement; - SDM yang kuat pada Pemda guna menggantikan peran
Pemerintah Pusat; - Keseimbangan dan kejelasan dalam pembagian tanggung jawab
dan kewenangan dalam melakukan pungutan pajak dan retribusi daerah. Jadi pemilihan azas penyelenggaraan
pemerintahan tergantung pada kebutuhan suatu
negara. Kebutuhan inilah yang menimbulkan alasan penggunaan azas desentralisasi fiskal. Pilihan penggunaan azas
desentralisasi fiskal dikarenakan azas tersebut
dianggap yang paling banyak membawa manfaat bagi negara tersebut. Selanjutnya keberhasilan pelaksanaan
desentralisasi fiskal ditentukan oleh beberapa faktor pendukungnya.
0 Comments:
Post a Comment