glx_b64e8cb7b7c9d05c279e27f2e2324900.txt Desentralisasi - Kumpulan Landasan Teori

Thursday, 9 June 2016

Desentralisasi

Dalam konteks manajemen pemerintahan dimana terdapat tingkatan pemerintah  pusat dan pemerintah daerah dikenal dua azas penyelenggaraan pemerintahan yaitu  sentralisasi dan desentralisasi. Sentralisasi merupakan sistem pemerintahan dimana  mekanisme pengambilan keputusan yang berkaitan dengan daerah dilakukan secara  terpusat di pemerintah pusat. Oleh karena segala keputusan diambil oleh pemerintah  pusat, maka pembangunan di daerah menjadi tidak optimal. Hal ini dikarenakan  lamanya waktu yang diperlukan untuk menghasilkan suatu kebijakan terkait  pembangunan daerah. Selain itu pemerintah pusat belum tentu mengetahui dengan  pasti aspirasi, kebutuhan, dan prioritas daerah. Hal inilah yang menimbulkan  dorongan kuat untuk menerapkan sistem desentralisasi.   Banyak definisi yang diungkapkan oleh para ahli mengenai desentralisasi. Berikut  ini adalah beberapa definisi mengenai desentralisasi sebagaimana dikutip oleh  Elizabeth L. Y. (2004):
- Decentralisation is usually referred to as the transfer of powers from central government to lower levels in a political-administrative and territorial hierarchy (Crook and Manor 1998, Agrawal and Ribot 1999). This official power transfer can take two main forms. Administrative decentralisation, also known as deconcentration, refers to a transfer to lower-level central government authorities, or to other local authorities who are upwardly accountable to the central government (Ribot 2002). In contrast, political, or democratic, decentralisation refers to the transfer of authority to representative and downwardly accountable actors, such as elected local governments” (Larson). - The term decentralisation is used to cover a broad range of transfers of the "locus of decision making" from central governments to regional, municipal or localgovernments” (Sayer et al.). - Decentralization reform refers to “transforming the local institutional infrastructure for natural resource management on which local forest management is based” (Ribot).  
Sementara itu definisi desentralisasi menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 adalah  penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk  mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan  Republik Indonesia. Dari beberapa definisi mengenai desentralisasi fiskal dapat  ditarik suatu kesimpulan bahwa desentralisasi fiskal merupakan transfer wewenang  dan tanggung jawab dari tingkatan pemerintah yang lebih tinggi (pemerintah pusat)  kepada tingkat pemerintah yang lebih rendah (pemerintah daerah) untuk mengurus  rumah tangganya sendiri.  
Machfud Sidik (2002) menyatakan bahwa: “Secara umum desentralisasi  mencakup aspek-aspek politik (political decentralization); administratif  (administrative decentralization); fiskal (fiscal decentralization); dan ekonomi  (economic or market decentralization).” Dari keempat aspek desentralisasi tersebut,  desentralisasi fiskal merupakan komponen utama dari desentralisasi. Pemerintah daerah dalam menjalankan fungsi pelayanan publik harus diberikan keleluasaan  dalam menentukan kebijakan fiskal daerahnya.   
Definisi desentralisasi fiskal menurut James Edwin Kee adalah sebagai transfer  kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah terhadap fungsi-fungsi  khusus dengan disertai kewenangan administratif dan pendapatan fiskal untuk  melaksanakan fungsi tersebut. A. James Heinz sebagaimana dikutip oleh Iman  Widhiyanto (2008) mendefinisikan proses desentralisasi fiskal sebagai suatu proses  dimana keputusan mengenai lingkup kegiatan dibuat pada tingkat pemerintah federal  sedangkan keputusan mengenai desain aktivitas tersebut dibuat di tingkat pemerintah  yang lebih rendah.  Selanjutnya menurut Kenneth Davey (2003) desentralisasi fiskal  mencakup dua isu yang saling berkaitan. Isu pertama adalah pembagian tanggung  jawab pengeluaran dan sumber daya pendapatan antar tingkatan pemerintah (nasional,  regional, lokal). Isu yang kedua adalah besarnya keleluasan yang diberikan kepada  pemerintah regional atau lokal untuk menentukan pengeluaran dan penerimaan  mereka.  
Definisi-definisi mengenai desentralisasi fiskal yang telah dikemukakan  sebelumnya juga telah sesuai dengan desentralisasi fiskal yang selama ini  dilaksanakan di Indonesia. Brahmantio dan Tri Wibowo (2002) menyatakan bahwa  secara harfiah istilah desentralisasi fiskal memberikan pengertian adanya pemisahan  yang semakin tegas dan jelas dalam urusan keuangan antara pemerintah pusat dengan  pemerintah daerah. Pemisahan dimaksud bisa tercermin pada kedua sisi anggaran  yaitu penerimaan dan pengeluaran. Di sisi penerimaan, daerah akan memiliki  kewenangan yang lebih besar dalam Tax Policy. Sementara itu di sisi pengeluaran, daerah akan mendapat kewenangan penuh dalam penggunaan dana perimbangan (dari  bagi hasil berupa PBB, BPHTB SDA, dan dana alokasi umum/DAU).
Penggunaan azas desentralisasi ataupun sentralisasi hanyalah merupakan pilihan.  Tidak ada yang pernah mengklaim desentralisasi merupakan azas penyelenggaraan  pemerintahan yang terbaik ataupun sebaliknya. Pilihan untuk menggunakan salah satu  azas tersebut hanya didasarkan pada pertimbangan manakah yang lebih bermanfaat.  Hal ini juga berlaku pada pemilihan penggunaan azas desentralisasi fiskal. James  Edwin Kee dalam tulisannya mengemukakan beberapa alasan mengapa negara-negara  mulai tertarik untuk menerapkan desentralisasi.  
  •        Central governments increasingly are finding that it is impossible for them to meet all of the competing needs of their various constituencies, and are attempting to build local capacity by delegating responsibilities downward to their regional governments.
  •    Central governments are looking to local and regional governments to assist them on national economic development strategies.
  •          Regional and local political leaders are demanding more autonomy and want the taxation powers that go along with their expenditure responsibility.   

Sementara itu Candra Fajri Ananda (2002) menyatakan beberapa alasan  penyelenggaraan desentralisasi fiskal sebagai berikut:   
Beberapa alasan yang mendukung desentralisasi fiskal, antara lain : (a) untuk mengalokasikan barang-barang dan jasa publik yang bermanfaat dan eksternalitasnya berskala regional dan lokal, (b) pemerintah daerah dapat lebih cepat menginterpretasikan kebutuhan rakyat, dan (c) memungkinkan kebebasan individu dan tanggung jawab politik yang lebih besar.   Selanjutnya mengenai pra-syarat pelaksanaan desentralisasi fiskal, Machfud Sidik  (2002) menyatakan bahwa:

Pelaksanaan desentralisasi fiskal akan berjalan dengan baik kalau didukung faktor-faktor berikut:  - Pemerintah Pusat yang mampu melakukan pengawasan dan enforcement; - SDM yang kuat pada Pemda guna menggantikan peran Pemerintah Pusat; - Keseimbangan dan kejelasan dalam pembagian tanggung jawab dan kewenangan dalam melakukan pungutan pajak dan retribusi daerah.  Jadi pemilihan azas penyelenggaraan pemerintahan tergantung pada kebutuhan  suatu negara. Kebutuhan inilah yang menimbulkan alasan penggunaan azas  desentralisasi fiskal. Pilihan penggunaan azas desentralisasi fiskal dikarenakan azas  tersebut dianggap yang paling banyak membawa manfaat bagi negara tersebut.  Selanjutnya keberhasilan pelaksanaan desentralisasi fiskal ditentukan oleh beberapa  faktor pendukungnya. 

0 Comments:

Post a Comment