glx_b64e8cb7b7c9d05c279e27f2e2324900.txt Manajemen Kinerja Pengukuran Kinerja Kepuasan Kerja. - Kumpulan Landasan Teori

Monday 27 June 2016

Manajemen Kinerja Pengukuran Kinerja Kepuasan Kerja.

Manajemen kinerja menurut Michael Armstrong (2004, 29) didefinisikan sebagai
berikut:
“Manajemen kinerja merupakan sarana untuk mendapatkan hasil yang lebih dari organisasi, tim, dan individu dengan cara memahami dan mengelola kinerja dalam suatu kerangka tujuan, standar, dan persyaratan-persyaratan atribut/kompetensi terencana yang telah disepakati. Manajemen kinerja merupakan proses penciptaan pemahaman bersama tentang apa yang harus dicapai, dan penciptaan suatu pendekatan terhadap pengelolaan dan pengembangan orang dengan suatu cara yang meningkatkan probabilitas bahwa pendekatan tersebut dapat dicapai dalam waktu yang singkat dan berjangka waktu lebih lama.”

Dalam manajemen kinerja sangat diperlukan pengelolaan atas variabel-variabel yang mempengaruhi kinerja untuk menjaga stabilitas kinerja organisasi. Sedangkan kinerja organisasi tidak lepas dari kinerja individual pegawainya. Hal ini selaras dengan pendapat Stephen P Robbins dalam Mahmudi (2007, 20) yang menyebutkan faktor personal/individual sebagai urutan pertama dari lima faktor lain yang mempengaruhi kinerja.

Kinerja mengacu pada sesuatu yang terkait dengan kegiatan melakukan pekerjaan, dalam hal ini meliputi hasil yang dicapai kerja tersebut (Otley, 1999). Kinerja merupakan hasil dari kerja itu sendiri (outcomes of work), karena hasil kerja memberikan keterkaitan yang kuat terhadap tujuan-tujuan strategis organisasi, kepuasan pelanggan, dan kontribusi ekonomi (Rogers, 1994).

Pengukuran kinerja merupakan suatu proses penilaian kemajuan pekerjaan terhadap pencapaian tujuan dan sasaran yang telah ditentukan, termasuk informasi atas efisiensi penggunaan sumber daya dalam menghasilkan barang dan jasa, kualitas barang dan jasa, perbandingan hasil kegiatan dengan target, dan efektivitas tindakan dalam mencapai tujuan (Robertson, 2002). Dalam hal ini penting untuk ditentukan tujuan pengukuran kinerja, apakah untuk menilai hasil kinerja (performance outcome) ataukah menilai perilaku (personality), dan untuk mementukan alat ukur kinerja yang tepat (John Isaac Mwita, 2000).

Menurut Mahmudi (2005), terdapat tiga pendekatan manajemen kinerja, yaitu manajemen kinerja berbasis pelaku (pegawai), manajemen kinerja berbasis perilaku (proses), dan manajemen kinerja berbasis hasil (outcome/result).

1)      Manajemen Kinerja Berbasis Pelaku (Pegawai)
Manajemen kinerja berbasis pelaku (pegawai) merupakan manajemen kinerja model klasik yang mendasarkan penilaian kinerja pada kualifikasi dan kinerja individual, seperti penampilan, disiplin dan ketaatan terhadap peraturan, kemauan dan kemampuan belajar, hubungan dengan pelanggan, bawahan, rekan kerja, dan atasan; motivasi diri; kecermatan dan ketelitian; produktivitas/kecepatan dalam bekerja; kualitas kerja; pengetahuan dan ketrampilan kerja; kemampuan beradaptasi; kemampuan bekerja sama dan kerja tim; kemampuan mengatasi masalah; kemampuan berkomunikasi lisan dan tulisan; kemampuan memimpin dan mengorganisasi; dan loyalitas.

Organisasi yang menggunakan pendekatan manajemen kinerja berbasis pelaku pada umumnya menggunakan formulir penilaian kinerja pegawai untuk menilai atribut-atribut kinerja personal tersebut. Tiap atribut kinerja personal diberi bobottertentu untuk menentukan total nilai kinerjanya.

2)      Manajemen Kinerja Berbasis Perilaku
Manajemen kinerja berbasis perilaku tidak semata-mata berfokus pada factor pegawai, namun berkonsentrasi pada perilaku atau proses yang dilakukan seseorang dalam melakukan kerja. Untuk menilai kinerja berdasarkan perilaku atau proses, organisasi menentukan terlebih dahulu faktor kinerja sebagai dasar untuk menilai.

Faktor-faktor kinerja tersebut misalnya:
1)      Manajemen operasional, meliputi perencanaan dan pengendalian keuangan, manajemen aset, dan pengendalian internal.
2)      Manajemen staf dan pengembangan SDM.
3)      Kualitas barang atau jasa yang dihasilkan, misalnya ketersediaan/keberadaan barang, jasa, atau orang pada saat dibutuhkan, kebersihan dan kerapihan produk yang dihasilkan, serta kemudahan dalam penggunaan atau pengaksesan.
4)      Kualitas pelayanan, seperti kecepatan pelayanan, kebersihan dan kerapihan staf dan fasilitas, keramahan dan kesabaran staf dalam melayani pelanggan, serta keamanan dan kenyamanan.

3)      Manajemen Kinerja Berbasis Hasil
Pendekatan manajemen kinerja berbasis pelaku dan perilaku hanya berfokus pada pengukuran kinerja input dan output. Manajemen kinerja berbasis hasil mendasarkan penilaian kinerja pada pengukuran hasil, dampak, dan manfaat yang lebih luas. Kinerja diukur dengan suatu indikator kinerja kinerja. Indikator kinerja yang baik menurut Mahmudi (2005) memiliki karakteristik sebagai berikut:
a.       Indikator tersebut harus konsisten antar waktu dan juga konsisten antarunit.
b.      Indikator tersebut dapat diperbandingkan, yaitu dapat diperbandingkan dengan periode-periode sebelumnya, dengan unit kerja lain atau organisasi sejenis, dengan perkiraan kinerja di masa yang akan datang, dengan kinerja yang telah dicapai, serta dengan standar kerja minimal.
c.       Indikator kinerja harus jelas dan sederhana agar mudah dipahami.
d.      Indikator kinerja harus dapat dikontrol sebagai alat pengendalian manajemen.
e.       Indikator kinerja harus dapat mengikuti perubahan lingkungan yang mungkin terjadi seperti perubahan struktur organisasi dan gaya manajemen.
f.       Indikator kinerja harus komprehensif dan dapat merefleksikan semua aspek yang diukur, termasuk aspek perilaku.
g.      Indikator kinerja harus berfokus pada sesuatu yang diukur. Untuk menghasilkan indikator kinerja yang fokus perlu dibuat Indikator Kinerja Kunci (Key Performance Indikator), yaitu indikator level tinggi yang memberikan gambaran komprehensif mengenai kinerja suatu program, aktivitas, atau organisasi.
h.      Indikator kinerja harus relevan dengan sesuatu yang diukur, sesuai dengan kebutuhan dan kondisi.
i.        Indikator kinerja harus realistis sehingga memungkinkan untuk dicapai.



Mahmudi (2005) mengkategorikan indikator kinerja menjadi dua jenis, yaitu indikator kinerja makro dan indikator kinerja mikro. Indikator kinerja makro adalam indikator kinerja level tinggi yang bersifat strategik, sedangkan indikator kinerja mikro merupakan indikator kinerja level unit kerja yang bersifat operasional. Pihak eksternal lebih banyak berkepentingan dengan indikator kinerja makro untuk menilai kinerja organisasi. Sementara itu indikator kinerja mikro lebih banyak digunakan oleh internal manajemen untuk pengendalian dan monitoring kinerja.
Anies Basalamah (2004, 110) mengutip dari Schemerhorn, Hunt, dan Osborn mendefinisikan kepuasan kerja sebagai tingkatan perasaan suka atau tidak suka seseorang pada pekerjaannya. Kepuasan kerja juga berkaitan dengan tanggapan emosional terhadap pekerjaan seseorang, disamping juga berkaitan dengan kondisi fisik dan sosial lingkungan kerjanya. Stephen P Robins (1998) mengemukakan bahwa: “kepuasan kerja terjadi apabila kebutuhan-kebutuhan individu sudah terpenuhi dan terkait dengan derajat kesukaan dan ketidaksukaan dikaitkan dengan pegawai atau kepuasan merupakan sikap umum yang dimiliki oleh pegawai yang erat kaitannya dengan imbalan-imbalan yang mereka yakini akan mereka terima setelah melakukan sebuah pengorbanan.” Faktor penting yang mampu mendatangkan kepuasan kerja menurut Stephen P Robbins (2001, 149) meliputi empat hal:
a. Pekerjaan yang secara mental menantang.
Karyawan cenderung menyukai pekerjaan-pekerjaan yang memberi mereka kesempatan untuk menggunakan keterampilan, kemampuan, penawaran tugas, kebebasan, dan umpan balik mengenai betapa baik mereka mengerjakan. Pekerjaan yang kurang menantang dapat menimbulkan kebosanan, begitu pula sebaliknya jika terlalu menantang akan menimbulkan frustasi dan perasaan gagal. Pada kondisi tantangan yang sedang, kebanyakan karyawan akan mengalami kesenangan dan kepuasan. Faktor ini dapat dikatakan sebagai faktor kepuasan fisik.
b. Penghargaan yang layak.
Para karyawan menginginkan sistem penggajian dan kebijakan promosi yang mereka rasakan wajar, tidak membingungkan, dan sejalan dengan harapan mereka. Bila penggajian dianggap adil, sesuai dengan tuntutan pekerjaan, tingkat ketrampilan individu, dan standar penggajian masyarakat umum, kepuasan akan tercapai. Faktor ini dapat dikatakan sebagai faktor kepuasan finansial.
c. Kondisi kerja yang mendukung.
Para karyawan menaruh perhatian yang besar terhadap kondisi lingkungan kerja mereka, baik dari segi kenyamanan pribadi maupun kemudahan untuk melakukan pekerjaan dengan baik. Mereka lebih menyukai lingkungan fisik yang aman, nyaman, bersih, dan memiliki tingkat gangguan minimum. Faktor ini dapat dikatakan sebagai faktor kepuasan psikologi.
d. Rekan kerja yang mendukung.
Bagi sebagian besar karyawan, bekerja juga dapat memenuhi kebutuhan untuk berinteraksi sosial. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila bekerja dan memiliki rekan-rekan kerja yang ramah dan mendukung dapat meningkatkan kepuasan kerja karyawan tersebut. Faktor ini dapat dikatakan sebagai faktor kepuasan sosial.

Tingkat kepuasan kerja bergantung pada perbedaan antara apa yang diperoleh dari pekerjaannya dan apa yang diharapkan diperoleh (Porter LW, 1973). Kepuasan meliputi kepuasan atas tugas, reward berupa penghasilan (pay), promosi (promotions), menjadi dikenal (recognition), manfaat (benefits), and kondisi pekerjaan (working conditions) (Locke, 1976).
Terdapat dua macam kepuasan, intrinsik dan ekstrinsik (Bhuian, 1996). Kepuasan intrinsik untuk kepuasan kerja merefleksikan pengalaman pegawai merasakan pencapaian kinerja dan aktualisasi diri dari pekerjaannya. Kepuasan ekstrinsik khususnya dalam kepuasan kerja yaitu kepuasan karena adanya reward yang didapat seperti kompensasi dan keselamatan kerja dengan melakukan pekerjaannya. Schemerhorn (1999) secara umum tanpa memperhatikan apakah seseorang itu manajer atau bukan, menilai lima aspek dalam kepuasan kerja sebagai berikut:
a.       Sifat pekerjaan itu sendiri
Sifat pekerjaan yang dimaksud yaitu aspek tanggung jawab yang harus dipikul atau tantangan dalam pekerjaan tersebut, penyebab timbulnya minat atas pekerjaan, serta pertumbuhan atau perkembangan bagi pegawai.
b.      Penyelia (Supervisor)
Penyelia yang baik berarti mau menghargai pekerjaan bawahannya. Bagi bawahan, penyelia sering dianggap sebagai figur ayah/ibu dan sekaligus atasannya.
c.       Hubungan dengan sesama pekerja
Hubungan baik yang terjaga dalam lingkungan kerja yaitu keharmonisan social dan saling menghargai.
d.      Kesempatan untuk dipromosikan atau meningkatkan karir
e.       Gaji/Upah
Merupakan faktor pemenuhan kebutuhan hidup pegawai yang dianggap layak atau tidak.
Metode penilaian kepuasan kerja sebagaimana dikutip Anies Basalamah (2004,114) dari Greenberg dan Baron yaitu:
a.       Menggunakan kuisioner seperti yang dikembangkan dalam Job Description Index (JDI), Minnestota Questionnaire (MSQ) atau dalam Pay Satisfaction Quistionnairen (PSQ). Metode ini pada dasarnya mengukur kepuasan kerja dengan cara pegawai yang bersangkutan melaporkan mengenai keadaan diri mereka.
b.      Menggunakan prosedur kejadian kritis dimana pegawai diminta untuk menjelaskan mnengenai kejadian-kejadian penting apa dalam pekerjaan mereka yang dinilai memuaskan atau tidak memuaskan. Dari jawaban-jawaban itu kemudian diteliti secara seksama untuk mengetahui tema dan reaksi ynag mendasarinya.

c.       Dengan melakukan wawancara atau pertemuan tatap muka lainnya yang memberi kebebasan bagi setiap orang untuk mengemukakan mengenai kepuasan.

0 Comments:

Post a Comment